Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

PENCARIAN BIO-KEHATI

Kamis, 26 Februari 2009

KELESTARIAN LAHAN POTENSIAL DI PANTAI, DATARAN RENDAH, DAN PEGUNUNGAN



Bagaimana usaha pelestarian lahan potensial ditiap kawasan itu ?

1. Pelestarian Lahan Potensial di kawasan Pantai

Untuk menjaga kelestarian lahan potensial di kawasan pantai antara lain:

a. Tidak melakukan pengeringan rawa di kawasan pantai atau pengrusakan hutan bakau (mangrove).

b. Membuat sistem saluran air yang dilengkapi dengan pintu air untuk mengatur pergantian air agar pH nya tetap.

c. Tdk menambang pasir

2. Pelestarian Lahan Potensial di Dataran Rendah

Pelestarian lahan potensial di dataran rendah antara lain dengan:

a. Pembuatan/perbaikan saluran air (drainase)

b. Penggunaan lahan secara teratur disesuaikan dengan kondisi fisisnya.

c. Pemupukan tanah dalam jumlah seimbang, untuk menghindari keracunan atau kejenuhan tanah terhadap pupuk.

d. Melakukan sistem pergiliran tanaman (crop rotation).

e. Penanaman pohon niagawi, misalnya bengkirai, gaharu karena pohon tersebut tidak mudah rapuh.

3. Pelestarian Lahan Potensial di Pegunungan/Perbukitan
Usaha pencegahan terjadinya lahan kritis di pegunungan antara lain:

a. Penanaman pohon pelindung (tanaman penutup tanah). Fungsinya untuk menghambat penghancuran tanah lapisan atas oleh air hujan. Jenis tanaman yang paling cocok adalah tanaman reboisasi (pinus, jati, rasamala, dan cemara).

b. Penanaman secara kontur. Yaitu melakukan penanaman searah dengan garis kontur.
Fungsinya untuk menghambat kecepatan aliran air dan memperbesar resapan air.

c. Penggunaan tehnik pengolahan lahan secara baik. Yaitu pengolahan tanah menurut garis kontur. Fungsinya untuk menghambat aliran air.

d. Pembuatan teras. (sengkedan/terrassering)
Fungsinya untuk mengurangi panjang lereng, memperbesar resapan air, dan mengurangi erosi.

e. Pembuatan tanggul/guludan bersaluran Fungsinya agar air hujan dapat tertampung dan meresap dalam tubuh.

f. Penanaman pohon yang dapat membentuk akar banir untuk daerah lereng, contohnya bengkirai, meranti.


Gambar 2 dan 3 menggambarkan beberapa penyebab terjadinya lahan kritis dan usaha pelestarian lahan.

Gambar 2. Penyebab terjadinya lahan kritis



Bagaimana untuk wilayah hutan tropis kaltim?

1. Ilegal loging

2. Kebakaran hutan

3. Ladang berpindah

4. Pemukiman


Gambar 2. . Cara-cara pengawetan tanah (konservasi tanah).


Keterangan gambar:
a. Pergiliran tanaman (crop rotation)
b. Pengendalian penggem-balaan ?
c. Reboisasi
d. Bendungan alami kecil
e. Memperkuat pinggir sungai
f. Pengolahan tanah menurut garis kontur.


Pelestarian Lahan Potensial di -

Pantai

Dataran Rendah

Pegunungan

tidak pengeringan rawa/merusak hutan bakau dan membuat sistem saluran air, penambang pasir

pembuatan drainase, penggunaan lahan secara teratur, penanaman vegetasi (holtikultura), pemupukan yang seimbang, dan crop rotation

penanaman pohon pelindung (untuk daerah puncak, dan lereng), penanaman secara kontur, penggunaan tehnik pengolahan lahan secara baik, terrassering, dan pembuatan tanggul.



Mikoriza, Tanah dan Tanaman

di Lahan Kering

Mikoriza merupakan salah satu dari jenis jamur. Jamur merupakan suatu alat yang dapat memantapkan struktur tanah. Menurut Hakim, dkk (1986) faktor-faktor yang terlibat dalam pembentukan struktur adalah organisme, seperti benang-benang jamur yang dapat mengikat satu partikel tanah dan partikel lainnya. Selain akibat dari perpanjangan dari hifa-hifa eksternal pada jamur mikoriza, sekresi dari senyawa-senyawa polysakarida, asam organik dan lendir yang di produksi juga oleh hifa-hifa eksternal, akan mampu mengikat butir-butir primer/agregat mikro tanah menjadi butir sekunder/agregat makro. Agen organik ini sangat penting dalm menstabilkan agregat mikro dan melalui kekuatan perekat dan pengikatan oleh asam-asam dan hifa tadi akan membentuk agregat makro yang mantap (Subiksa, 2002).

Mikoriza merupakan asosiasi simbiotik antara akar tanaman dengan jamur. Asosiasi antara akar tanaman dengan jamur ini memberikan manfaat yang sangat baik bagi tanah dan tanaman inang yang merupakan tempat jamur tersebut tumbuh dan berkembang biak. Prinsip kerja dari mikoriza ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara (Iskandar, 2002).

Pembentukan struktur tanah yang baik merupakan modal bagi perbaikan sifat fisik tanah yang lain. Sifat-sifat fisik tanah yang diperbaiki akibat terbentuknya struktur tanah yang baik seperti perbaikan porositas tanah, perbaikan permeabilitas tanah serta perbaikan dari pada tata udara tanah.

Perbaikan dari struktur tanah juga akan berpengaruh langsung terhadap perkembangan akar tanaman. Pada lahan kering dengan makin baiknya perkembangan akar tanaman, akan lebih mempermudah tanaman untuk mendapatkan unsur hara dan air, karena memang pada lahan kering faktor pembatas utama dalam peningkatan produktivitasnya adalah kahat unsur hara dan kekurangan air.

Akibat lain dari kurangnya ketersediaan air pada lahan kering adalah kurang atau miskin bahan organik. Kemiskinan bahan organik akan akan memburukkan struktur tanah, lebih-laebih pada tanah yang bertekstur kasar sehubungan dengan taraf pelapukan rendah

Kendala pokok pembudidayaan lahan kering ialah keterbatasan air, baik itu curah hujan maupun air aliran permukaan. Notohadinagoro (1997) mengatakan bahwa tingkat kekeringan pada lahan kering sampai batas tertentu dipengaruhi oleh daya tanah menyimpan air. Tingkat kekeringan berkurang atau masa tanpa kekurangan air (water stress) bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya simpan air besar. Sebaliknya tingkat kekeringan meningkat, atau masa dengan dengan kekurangan air bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya simpan air kecil. Lama waktu tanpa atau dengan sedikit kekurangan air menentukan masa musim pertumbuhan tanaman, berarti lama waktu pertanaman dapat dibudidayakan secara tadah hujan.

Inokulasi mikoriza yang mempunyai hifa akan membantu proses penyerapan air yang terikat cukup kuat pada pori mikro tanah. Sehingga panjang musim tanam tanaman pada lahan kering diharapkan dapat terjadi sepanjang tahun.

Sumber:

Hakim, Nurhajati., M. Yusuf Nyakpa, A.M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Rusdi Saul, M. Amin Diha, Go Ban Hong, H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung

Iskandar, Dudi. 2002. Pupuk Hayati Mikoriza Untuk Pertumbuhan dan Adapsi Tanaman Di Lahan Marginal. ____________

Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember

Subiksa, IGM. 2002. Pemanfatan Mikoriza Untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor



LAHAN KERING

Tejoyuwono (1989) dalam Suwardji (2003) menyarankan beberapa pengertian sebagai berikut:

· untuk kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujan actual atau daerah yang jumlah curah hujannya tidak mencukupi untuk usaha pertanian tanpa irigasi disebut dengan “Daerah Kering”.

· untuk lahan dengan draenase alamiah lancar dan bukan merupakan daerah dataran banjir, rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan basah alamiah lain, istilahnya lahan atasan atau Upland.

· untuk lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan, istilahnya lahan kering.

a. Kesepakatan pengertian lahan kering dalam seminar nasional pengembangan wilayah upland dan rainfed adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi (Suwardji, 2003)).

b. Definisi yang diberikan Haryati (2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang.

Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan Kering di Malang (1991) penggunaan lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang sedang tidak diusahakan, ladang dan padang rumput.

Pemanfaatan lahan kering untuk kepentingan pembangunan daerah ternyata banyak menghadapi masalah dan kendala. Masalah yang utama adalah masalah fisik lahan kering banyak yang telah rusak atau mempunyai potensi yang cukup besar untuk menjadi rusak. Sehingga paket teknologi yang berorientasi pada perlindungan lahan kering sangat diperlukan. Kekurangan air pada saat musim kemarau, kahat unsur hara serta keadaan tanah yang peka terhadap erosi merupakan kendala lingkungan yang paling dominan di kawasan lahan kering.

Masalah utama lain yang harus dihadapi didalam pemanfaatan lahan kering ini adalah keadaan sosial ekonomi petani atau masyarakat yang menggunakan lahan kering sebagai tempat usahanya. Pendapatan keluarga yang rendah serta kemiskinan dibanyak tempat berkolerasi positif dengan uasaha tani di lahan kering.

Sumber:

Suwardji. 2003. Profil Wilayah Lahan Kering Propinsi NTB: Potensi, Tantangan dan strategi Pengembangannya. Makalah Seminar Nasional FOKUSHIMITI BEW III di Mataram. Universitas Mataram. Mataram

Pusat Peneliti Universitas Brawijaya. 1991. Penelitian dan Pengembangan Sistem Usaha Tani Lahan Kering Yang Berkelanjutan; Proseding Simposium Nasional Malang. Universitas Brawijaya. Malang

Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember

Teknik Pengendalian Erosi

Secara garis besar, teknik pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu teknik konservasi mekanik dan vegetatif. Konservasi tanah secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan tanah mendukung usahatani secara berkelanjutan.? Pada prinsipnya konservasi mekanik dalam pengendalian erosi harus selalu diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk hijau), serta penerapan pola tanam yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun.

4.2.1. Teras bangku atau teras tangga

Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan cara memotong panjang lereng dan meratakan tanah di bagian bawahnya, sehingga terjadi deretan bangunan yang berbentuk seperti tangga. Pada usahatani lahan kering, fungsi utama teras bangku adalah:

(1) memperlambat aliran permukaan;

(2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak sampai merusak;

(3) meningkatkan laju infiltrasi; dan

(4) mempermudah pengolahan tanah.

Teras bangku dapat dibuat datar (bidang olah datar, membentuk sudut 0o dengan bidang horizontal), miring ke dalam/goler kampak (bidang olah miring beberapa derajat ke arah yang berlawanan dengan lereng asli), dan miring keluar (bidang olah miring ke arah lereng asli). Teras biasanya dibangun di ekosistem lahan sawah tadah hujan, lahan tegalan, dan berbagai sistem wanatani. Tipe teras bangku dapat dilihat dalam Gambar 3.


Gambar 3. Sketsa empat tipe teras bangku

Teras bangku miring ke dalam (goler kampak) dibangun pada tanah yang permeabilitasnya rendah, dengan tujuan agar air yang tidak segera terinfiltrasi menggenangi bidang olah dan tidak mengalir ke luar melalui talud di bibir teras. Teras bangku miring ke luar diterapkan di areal di mana aliran permukaan dan infiltrasi dikendalikan secara bersamaan, misalnya di areal rawan longsor. Teras bangku goler kampak memerlukan biaya relatif lebih mahal dibandingkan dengan teras bangku datar atau teras bangku miring ke luar, karena memerlukan lebih banyak penggalian bidang olah.

Efektivitas teras bangku sebagai pengendali erosi akan meningkat bila ditanami dengan tanaman penguat teras di bibir dan tampingan teras. Rumput dan legum pohon merupakan tanaman yang baik untuk digunakan sebagai penguat teras. Tanaman murbei sebagai tanaman penguat teras banyak ditanam di daerah pengembangan ulat sutra. Teras bangku adakalanya dapat diperkuat dengan batu yang disusun, khususnya pada tampingan. Model seperti ini banyak diterapkan di kawasan yang berbatu.

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pembuatan teras bangku adalah:

(1) Dapat diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40%, tidak dianjurkan pada lahan dengan kemiringan >40% karena bidang olah akan menjadi terlalu sempit.

(2) Tidak cocok pada tanah dangkal (<40>

(3) Tidak cocok pada lahan usaha pertanian yang menggunakan mesin pertanian.

(4) Tidak dianjurkan pada tanah dengan kandungan aluminium dan besi tinggi.

(5) Tidak dianjurkan pada tanah-tanah yang mudah longsor.

4.2.2. Teras gulud

Teras gulud adalah barisan guludan yang dilengkapi dengan saluran air di bagian belakang gulud. Metode ini dikenal pula dengan istilah guludan bersaluran. Bagian-bagian dari teras gulud terdiri atas guludan, saluran air, dan bidang olah (Gambar 4).


Gambar 3. Sketsa penampang samping teras gulud.

Fungsi dari teras gulud hampir sama dengan teras bangku, yaitu untuk menahan laju aliran permukaan dan meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah. Saluran air dibuat untuk mengalirkan aliran permukaan dari bidang olah ke saluran pembuangan air. Untuk meningkatkan efektivitas teras gulud dalam menanggulangi erosi dan aliran permukaan, guludan diperkuat dengan tanaman penguat teras. Jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai penguat teras bangku juga dapat digunakan sebagai tanaman penguat teras gulud. Sebagai kompensasi dari kehilangan luas bidang olah, bidang teras gulud dapat pula ditanami dengan tanaman bernilai ekonomi (cash crops), misalnya tanaman katuk, cabai rawit, dan sebagainya.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan teras gulud:

1. Teras gulud cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40%, dapat juga pada lahan dengan kemiringan 40-60% namun relatif kurang efektif.

2. Pada tanah yang permeabilitasnya tinggi, guludan dapat dibuat menurut arah kontur. Pada tanah yang permeabilitasnya rendah, guludan dibuat miring terhadap kontur, tidak lebih dari 1% ke arah saluran pembuangan. Hal ini ditujukan agar air yang tidak segera terinfiltrasi ke dalam tanah dapat tersalurkan ke luar ladang dengan kecepatan rendah.

4.2.3. Teras individu

Teras individu adalah teras yang dibuat pada setiap individu tanaman, terutama tanaman tahunan (Gambar 4). Jenis teras ini biasa dibangun di areal perkebunan atau pertanaman buah-buahan.

Gambar 4. Sketsa teras individu pada areal pertanaman tahunan.

4.2.4. Teras kebun

Teras kebun adalah jenis teras untuk tanaman tahunan, khususnya tanaman pekebunan dan buah-buahan. Teras dibuat dengan interval yang bervariasi menurut jarak tanam (Gambar 4).

Pembuatan teras bertujuan untuk: (1) meningkatkan efisiensi penerapan teknik konservasi tanah, dan (2) memfasilitasi pengelolaan lahan (land management facility), di antaranya untuk fasilitas jalan kebun, dan penghematan tenaga kerja dalam pemeliharaan kebun.


Gambar 4. Teras kebun.

4.2.5. Rorak

Rorak merupakan lubang penampungan atau peresapan air, dibuat di bidang olah atau saluran resapan (Gambar 5). Pembuatan rorak bertujuan untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi. Pada lahan kering beriklim kering, rorak berfungsi sebagai tempat pemanen air hujan dan aliran permukaan.

Dimensi rorak yang disarankan sangat bervariasi, misalnya kedalaman 60 cm, lebar 50 cm, dan panjang berkisar antara? 50-200 cm. Panjang rorak dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak dengan rorak lainnya berkisar 100-150 cm, sedangkan jarak horizontal 20 m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng yang lebih curam. Dimensi rorak yang akan dipilih disesuaikan dengan kapasitas air atau sedimen dan bahan-bahan terangkut lainnya yang akan ditampung.

Sesudah periode waktu tertentu, rorak akan terisi oleh tanah atau serasah tanaman. Agar rorak dapat berfungsi secara terus-menerus, bahan-bahan yang masuk ke rorak perlu diangkat ke luar atau dibuat rorak yang baru.


Gambar 5. Rorak dengan teras gulud.

Disusun Oleh :


BUDIDAYA CACING TANAH

( Lumbricus sp.)

1. SEJARAH SINGKAT
Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili terpenting dari kelas ini Megascilicidae dan Lumbricidae Cacing tanah bukanlah hewan yang asing bagi masyarakat kita, terutama bagi masyarakat pedesaan. Namun hewan ini mempunyai potensi yang sangat menakjubkan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia.
3. JENIS
Jenis-jenis yang paling banyak dikembangkan oleh manusia berasal dari famili Megascolicidae dan Lumbricidae dengan genus Lumbricus, Eiseinia, Pheretima, Perionyx, Diplocardi dan Lidrillus. Beberapa jenis cacing tanah yang kini banyak diternakan antara lain: Pheretima, Periony dan Lumbricus. Ketiga jenis cacing tanah ini menyukai bahan organik yang berasal dari pupuk kandang dan sisa-sisa tumbuhan. Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan klitelum yang terletak pada segmen 27-32. Biasanya jenis ini kalah bersaing dengan jenis yang lain sehingga tubuhnya lebih kecil. Tetapi bila diternakkan besar tubuhnya bisa menyamai atau melebihi jenis lain. Cacing tanah jenis Pheretima segmennya mencapai 95-150 segmen. Klitelumnya terletak pada segmen 14-16. Tubuhnya berbentuk gilik panjang dan silindris berwarna merah keunguan. Cacing tanah yang termasuk jenis Pheretima antara lain cacing merah, cacing koot dan cacing kalung. Cacing tanah jenis Perionyx berbentuk gilik berwarna ungu tua sampai merah kecokelatan dengan jumlah segmen 75-165 dan klitelumnya terletak pada segmen 13 dan 17. Cacing ini biasanya agak manja sehingga dalam pemeliharaannya diperlukan perhatian yang lebih serius. Cacing jenis Lumbricus Rubellus memiliki keunggulan lebih dibanding kedua jenis yang lain di atas, karena produktivitasnya tinggi (penambahan berat badan, produksi telur/anakan dan produksi bekas cacing “kascing”) serta tidak banyak bergerak
4. MANFAAT
Dalam bidang pertanian, cacing menghancurkan bahan organik sehingga memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan cacing tanah akan meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan tanaman. Selain itu juga cacing tanah dapat digunakan sebagai:
1. Bahan Pakan Ternak
Berkat kandungan protein, lemak dan mineralnya yang tinggi, cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak seperti unggas, ikan, udang dan kodok.
2. Bahan Baku Obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit.
Secara tradisional cacing tanah dipercaya dapat meredakan demam, menurunkan tekanan darah, menyembuhkan bronchitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.
3. Bahan Baku Kosmetik
Cacing dapat diolah untuk digunakan sebagai pelembab kulit dan bahan baku pembuatan lipstik.
4. Makanan Manusia
Cacing merupakan sumber protein yang berpotensi untuk dimasukkan sebagai bahan makanan manusia seperti halnya daging sapi atau Ayam.
5. PERSYARATAN LOKASI
1. Tanah sebagai media hidup cacing harus mengandung bahan organik dalam jumlah yang besar.
2. Bahan-bahan organik tanah dapat berasal dari serasah (daun yang gugur), kotoran ternak atau tanaman dan hewan yang mati. Cacing tanah menyukai bahan-bahan yang mudah membusuk karena lebih mudah dicerna oleh tubuhnya.
3. Untuk pertumbuhan yang baik, cacing tanah memerlukan tanah yang sedikit asam sampai netral atau ph sekitar 6-7,2. Dengan kondisi ini, bakteri dalam tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan atau fermentasi.
4. Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah adalah antara 15-30 %.
5. Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan cacing tanah dan penetasan kokon adalah sekitar 15–25 derajat C atau suam-suam kuku. Suhu yang lebih tinggi dari 25 derajat C masih baik asal ada naungan yang cukup dan kelembaban optimal.
6. Lokasi pemeliharaan cacing tanah diusahakan agar mudah penanganan dan pengawasannya serta tidak terkena sinar matahari secara langsung, misalnya di bawah pohon rindang, di tepi rumah atau di ruangan khusus (permanen) yang atapnya terbuat dari bahan-bahan yang tidak meneruskan sinar dan tidak menyimpan panas.
6. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
1. Penyiapan Sarana dan Peralatan
Pembuatan kandang sebaiknya menggunakan bahan-bahan yang murah dan mudah didapat seperti bambu, rumbia, papan bekas, ijuk dan genteng tanah liat. Salah satu contoh kandang permanen untuk peternakan skala besar adalah yang berukuran 1,5 x 18 m dengan tinggi 0,45 m. Didalamnya dibuat rak-rak bertingkat sebagai tempat wadah-wadah pemeliharaan. Bangunan kandang dapat pula tanpa dinding (bangunan terbuka). Model-model sistem budidaya, antara lain rak berbaki, kotak bertumpuk, pancing bertingkat atau pancing berjajar..
2. Pembibitan
Persiapan yang diperlukan dalam pembudidayaan cacing tanah adalah meramu media tumbuh, menyediakan bibit unggul, mempersiapkan kandang cacing dan kandang pelindung.
1. Pemilihan Bibit Calon Induk
Sebaiknya dalam beternak cacing tanah secara komersial digunakan bibit yang sudah ada karena diperlukan dalam jumlah yang besar. Namun bila akan dimulai dari skala kecil dapat pula dipakai bibit cacing tanah dari alam, yaitu dari tumpukan sampah yang membusuk atau dari tempat pembuangan kotoran hewan.
2. Pemeliharaan Bibit Calon Induk
Pemeliharaan dapat dibagi menjadi beberapa cara:
1. pemeliharaan cacing tanah sebanyak-banyaknya sesuai tempat yang digunakan. Cacing tanah dapat dipilih yang muda atau dewasa. Jika sarang berukuran tinggi sekitar 0,3 m, panjang 2,5 m dan lebar kurang lebih 1 m, dapat ditampung sekitar 10.000 ekor cacing tanah dewasa.
2. pemeliharaan dimulai dengan jumlah kecil. Jika jumlahnya telah bertambah, sebagian cacing tanah dipindahkan ke bak lain.
3. pemeliharaan kombinasi cara a dan b.
4. pemeliharaan khusus kokon sampai anak, setelah dewasa di pindah ke bak lain.
5. Pemeliharaan khusus cacing dewasa sebagai bibit.
3. Sistem Pemuliabiakan
Apabila media pemeliharaan telah siap dan bibit cacing tanah sudah ada, maka penanaman dapat segera dilaksanakan dalam wadah pemeliharaan. Bibit cacing tanah yang ada tidaklah sekaligus dimasukan ke dalam media, tetapi harus dicoba sedikit demi sedikit. Beberapa bibit cacing tanah diletakan di atas media, kemudian diamati apakah bibit cacing itu masuk ke dalam media atau tidak. Jika terlihat masuk, baru bibit cacing yang lain dimasukkan. Setiap 3 jam sekali diamati, mungkin ada yang berkeliaran di atas media atau ada yang meninggalkan media (wadah). Apabila dalam waktu 12 jam tidak ada yang meninggalkan wadah berarti cacing tanah itu betah dan media sudah cocok. Sebaliknya bila media tidak cocok, cacing akan berkeliaran di permukaan media. Untuk mengatasinya, media harus segera diganti dengan yang baru. Perbaikan dapat dilakukan dengan cara disiram dengan air, kemudian diperas hingga air perasannya terlihat berwarna bening (tidak berwarna hitam atau cokelat tua).
4. Reproduksi, Perkawinan
Cacing tanah termasuk hewan hermaprodit, yaitu memiliki alat kelamin jantan dan betina dalam satu tubuh. Namun demikian, untuk pembuahan, tidak dapat dilakukannya sendiri. Dari perkawinan sepasang cacing tanah, masing-masing akan dihasilkan satu kokon yang berisi telur-telur. Kokon berbentuk lonjong dan berukuran sekitar 1/3 besar kepala korek api. Kokon ini diletakkan di tempat yang lembab. Dalam waktu 14-21 hari kokon akan menetas. Setiap kokon akan menghasilkan 2-20 ekor, rata-rata 4 ekor. Diperkirakan 100 ekor cacing dapat menghasilkan 100.000 cacing dalam waktu 1 tahun. Cacing tanah mulai dewasa setelah berumur 2-3 bulan yang ditandai dengan adanya gelang (klitelum) pada tubuh bagian depan. Selama 7-10 hari setelah perkawinan cacing dewasa akan dihasilkan 1 kokon.
3. Pemeliharaan
1. Pemberian Pakan
Cacing tanah diberi pakan sekali dalam sehari semalam sebanyak berat cacing tanah yang ditanam. Apabila yang ditanam 1 Kg, maka pakan yang harus diberikan juga harus 1 Kg. Secara umum pakan cacing tanah adalah berupa semua kotoran hewan, kecuali kotoran yang hanya dipakai sebagai media. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan pada cacing tanah, antara lain :
 pakan yang diberikan harus dijadikan bubuk atau bubur dengan cara diblender.
 bubur pakan ditaburkan rata di atas media, tetapi tidak menutupi seluruh permukaan media, sekitar 2-3 dari peti wadah tidak ditaburi pakan.
 pakan ditutup dengan plastik, karung , atau bahan lain yang tidak tembus cahaya.
 pemberian pakan berikutnya, apabila masih tersisa pakan terdahulu, harus diaduk dan jumlah pakan yang diberikan dikurangi.
 bubur pakan yang akan diberikan pada cacing tanah mempunyai perbandingan air 1:1.
2. Penggantian Media
Media yang sudah menjadi tanah/kascing atau yang telah banyak telur (kokon) harus diganti. Supaya cacing cepat berkembang, maka telur, anak dan induk dipisahkan dan ditumbuhkan pada media baru. Rata rata penggantian media dilakukan dalam jangka waktu 2 Minggu.
3. Proses Kelahiran
Bahan untuk media pembuatan sarang adalah: kotoran hewan, dedaunan/Buah-buahan, batang pisang, limbah rumah tangga, limbah pasar, kertas koran/kardus/kayu lapuk/bubur kayu. Bahan yang tersedia terlebih dahulu dipotong sepanjang 2,5 Cm. Berbagai bahan, kecuali kotoran ternak, diaduk dan ditambah air kemudian diaduk kembali. Bahan campuran dan kotaran ternak dijadikan satu dengan persentase perbandingan 70:30 ditambah air secukupnya supaya tetap basah.
7. HAMA DAN PENYAKIT
Keberhasilan beternak cacing tanah tidak terlepas dari pengendalian terhadap hama dan musuh cacing tanah. Beberapa hama dan musuh cacing tanah antara lain: semut, kumbang, burung, kelabang, lipan, lalat, tikus, katak, tupai, ayam, itik, ular, angsa, lintah, kutu dan lain-lain. Musuh yang juga ditakuti adalah semut merah yang memakan pakan cacing tanah yang mengandung karbohidrat dan lemak. Padahal kedua zat ini diperlukan untuk penggemukan cacing tanah. Pencegahan serangan semut merah dilakukan dengan cara disekitar wadah pemeliharaan (dirambang) diberi air cukup.
8. PANEN
Dalam beternak cacing tanah ada dua hasil terpenting (utama) yang dapat diharapkan, yaitu biomas (cacing tanah itu sendiri) dan kascing (bekas cacing). Panen cacing dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan mengunakan alat penerangan seperti lampu petromaks, lampu neon atau bohlam. Cacing tanah sangat sensitif terhadap cahaya sehingga mereka akan berkumpul di bagian atas media. Kemudian kita tinggal memisahkan cacing tanah itu dengan medianya. Ada cara panen yang lebih ekonomis dengan membalikan sarang. Dibalik sarang yang gelap ini cacing biasanya berkumpul dan cacing mudah terkumpul, kemudian sarang dibalik kembali dan pisahkan cacing yang tertinggal. Jika pada saat panen sudah terlihat adanya kokon (kumpulan telur), maka sarang dikembalikan pada wadah semula dan diberi pakan hingga sekitar 30 hari. Dalam jangka waktu itu, telur akan menetas. Dan cacing tanah dapat diambil untuk dipindahkan ke wadah pemeliharaan yang baru dan kascingnya siap di panen.

UPAYA KOMERSIALISASI PEMELIHARAAN CACING TANAH
(Raising Earthworms as Mushroom in the Rain)

Last Update :

Selama 3 tahun terakhir ini pemeliharaan cacing tanah tumbuh cepat bagaikan jamur di musim hujan, sejalan tingginya harga cacing segar (Rp 50.000 per kg). Kebanyakan suplai menyebabkan anjloknya harga jual sampai lebih dari separuhnya. Cacing bibit masih dihargai di atas Rp 100.000 per kg hidup. Minat banyak pihak terhadap cacing tanah menciptakan bisnis paket pendidikan singkat dengan biaya sekitar Rp 250.000 selama 4 hari.

Cacing tanah menghasilkan kotoran (cast) di permukaan sekitar sarang. Kotoran cacing mengandung mikro organisma, mineral anorganik dan bahan organik yang bermanfaat bagi tanaman. Biomass cacing akan diproses menjadi tepung cacing yang bisa dibuat kerupuk, kue kering, serta merupakan bahan aktif dalam industri kosmetik. Substrat dalam cacing tanah sejak lama diyakini ampuh untuk mengobati berbagai gangguan kesehatan seperti rematik, batu ginjal, demam dan cacar. Peneliti lokal meyakini bahwa ekstrak cacing dapat menghambat pertumbuhan bakteri pathogen seperti Salmonela thypimurium (tifus) dan Escheria coli (diare).
Perbandingan Sifat Kimia & Kandungan Hara Casting
(Comparison of the Available Mineral in the Worm Casts)
Parameter Casting ( 1 ) Casting ( 2 ) Compost (2 )
pH (H20)
C-organic (%)
N total (%)
P available (%)
P total (%)
Ca (me/100 g)
Mg (me/100 g)
K (me/100 g)
Na (me/100 g)
Cation Exchange Capacity (me/100 g)
Alkali Saturation (%) 7.1
12.8
1.7
71.0
621.0
29.2
40.0
18.1
1.0
61.3
74.0 6.8
20.69
1.90
33.54
61.42
30.00
15.23
10.31
2.42
68.95
84.00 6.0
25.04
1.19
-
-
10.75
3.13
7.26
5.30
35.5
74.48
Source :
(1) Damayani (1993) dalam PIBI IKOPIN (1999), Abraham.S, Nenny.N, Siti
Mariam (1999), dalam R.Rukmana (1999)
(2) Rikrik.W (1996) dalam Abraham.S, Nenny.N, Siti Mariam (1999) dalam
R.Rukmana (1999)

Tingkah Laku

Sebanyak 85 % dari berat tubuh cacing tanah berupa air, sehingga sangatlah penting untuk menjaga media pemeliharaan tetap lembab (kelembaban 15 - 30 %). Tubuh cacing mempunyai mekanisme untuk menjaga keseimbangan air dengan mempertahankan kelembaban di permukan tubuh dan mencegah kehilangan air yang berlebihan. cacing yang terdehidrasi akan kehilangan sebagian besar berat tubuhnya dan tetap hidup walaupun kehilangan 70 - 75 % kandungan air tubuh. Kekeringan yang berkepanjangan memaksa cacing tanah untuk bermigrasi ke media yang lebih cocok.

Cacing sangat peka terhadap cahaya terlebih sepanjang bagian anterior tubuh. Bagian tengah kurang peka terhadap cahaya. Cacing memiliki tonjolan dekat bukaan mulut disebut prostomium yang terdiri atas sel-sel sensor berstruktur seperti lensa yang menggantikan fungsi mata. Selain itu, prostomium juga mampu membedakan material berbahaya selama proses makan. Cahaya tidak boleh menerangi permukaan media karena kondisi terang akan mengganggu kegiatan hidup normal di permukaan.

Biologi

Spesies cacing tanah yang umum dipelihara adalah Lumbricus terrestris, L. rubellus, Eisenia foetida, Allolobophora caliginosa dan A. chlorotica dari keluarga Lumbricidae. Spesies umum lainnya adalah Pheretima asiatica, Perionyx excavatus dari keluarga Megascolecidae, dan juga Diplocardia verrucosa dari keluarga Acanthrodrilidae, serta Eudrilus eugeniae dari keluarga Octochaetidae.



(A.K.Simanjuntak dan D.Walujo. Cacing Tanah, Budidaya dan Pemanfaatannya. 1982. hal 6
Bagian luar tubuh terdiri atas segmen-segmen yang jumlah dan lebarnya berbeda menurut spesies. Cacing tanah adalah hermaprodit dengan alat kelamin jantan dan betina pada bagian ventral atau ventro lateral. Cacing dewasa kelamin ditandai dengan adanya klitelum ( seperti cincin atau pelana berwarna muda mencolok melingkari tubuh sepanjang segmen tertentu) pada umur 2,5 bulan. Klitelum terkait dengan produksi kokon. Klitelum pada spesies L. rubellus dimulai pada segmen 22 memanjang 4 sampai 10 segmen ke posterior. Alat kelamin jantan dan betina terdapat mulai segmen 9 sampai 15 menurut spesies. Untuk menghasilkan telur fertil, cacing harus mencari pasangan dan saling menukar sperma yang akan membuahi sel telur. Pembuahan akan terjadi dalam masing-masing lubang kelamin betina. Setelah pembuahan, sepanjang permukaan klitelum akan mengeluarkan lendir yang akan dmengeras dan bergerak ke belakang terdorong oleh gerak maju cacing. Pada saat melewati lubang kelamin betina, telur-telur yang sudah dibuahi akan masuk ke dalam selubung kokon tersebut.

Kokon yang diletakkan pada kondisi lingkungan yang cocok akan menetas dalam 14 - 21 hari. Jumlah telur dalam kokon beragam, biasanya lebih dari 10 butir. Tergantung spesies, cacing dewasa mampu menghasilkan lebih dari 2 kokon setiap 5 - 10 hari. Perhitungan kasar menunjukkan setiap 100 cacing dewasa dalam kurun waktu 1 tahun dapat menghasilkan 100.000 cacing.
Waktu Pertumbuhan Beberapa Cacing Lumbricid
(Time of Development for some Lumbricid Worms)
Species No of Cocoons
/worm/year Incubation Time
of Cocoons (wk) Growth Period (weeks) Development (weeks)
E. foetida
D.subrubicunda
L. rubellus
L. castaneus
E. rosea
A. caliginosa
A. chlorotica
A. terrestris 11
42
106
65
8
27
27
8 11
8.5
16
14
17.5
19
12.5
10 55
30
37
24
55
55
36
50 66
38.5
53
38
72.5
74
48.5
60

Source : From Wilcke, 1952 in C.A.Edwards and J.R.Lofty (1977)


Cacing tanah bergerak menggunakan setae untuk mencengkeram atau membantu proses perkawinan. Lubang (pori-pori) yang terletak sepanjang ventral berhubungan dengan nephridia (organ utama pensekresi bahan nitrogen) di dalam tubuh. Pori-pori berfungsi mempertahankan kelembaban permukaan sebab cacing bernapas melalui kulit yang lembab. Sebagai reaksi atas rangsangan luar misalnya sentuhan mendadak, cacing secara spontan akan mengeluarkan lendir melalui pori-pori yang sama dalam upaya melepaskan diri dari ancaman tersebut.

Pemeliharaan

Bagian penting dalam pemeliharaan cacing tanah adlah menyiapkan media yang cocok, yang dapat mendukung pertumbuhan optimum. Media bisa ditempatkan dalam kotak plastik, anyaman bambu, maupun bak batako. Kotak-kotak media disusun pada rak bertingkat 4, yang ditaruh dalam ruangan terlindung dari terpaan cahaya. Tingkat kepadatan tebaran cacing sangat tergantung pada volume media. Media seberat 250 g cukup untuk menampung 250 g cacing dewasa. Media dan makanan tambahan adalah dua hal yang berbeda, tetapi cacing dapat memakan keduanya. Media terdiri atas campuran beberapa bahan organik (limbah pertanian, limbah pasar dll) yang pada awal pembuatannya dicampur air dan diaduk berulang kali utuk menyempurnakan proses fermentasi. Empat minggu kemudian dicampur dengan kotoran hewan (perbandingan 70 : 30). Kapur bisa ditambahkan (1 : 100 bahan organik) untuk mencapai pH netral.
Untuk menghindari kekeringan, permukaan media dilapisi plastik. Media sudah dianggap cocok apabila pH mencapai 6,0 - 7,2 ; tingkat kelembaban 15 - 30 % dan suhu antara 15 - 25 oC. Cacing tetap dapat tinggal dalam media bersuhu di atas 25 oC asalkan ternaungi dan mempunyai ventilasi yang baik. Mengingat cacing tidak dilengkapi gigi, sebaiknya makanan tambahan diberikan dalam bentuk bubur (campuran air dan bahan padat 75 : 25) dan disebarkan merata di permukaan media. Makanan tambahan biasanya terdiri atas kotoran hewan, daun berprotein tinggi, sayuran, jagung, katul, limbah industri dan lain-lain. Sewaktu memberikan makanan, taruh agak ke dalam lubang sebab cacing dewasa lebih suka makan di dalam lubang ketimbang cacing muda yang makan di permukaan. Dalam waktu 24 jam 1 kg cacing dewasa dapat menghabiskan 1 kg makanan tambahan.

Media sebaiknya diganti dengan yang baru apabila media lama terlihat sudah penuh dengan cast dan kokon. Jika biomass cacing yang menjadi tujuan pemeliharaan, panen bisa dilakukan setiap 2,5 - 3 bulan. Seleksi untuk mendapatkan stok pengganti harus dilakukan terhadap cacing dewasa berumur 4 bulan. Cast bisa dikumpulkan setiap 1 - 2 hari. Pemeliharaan 1 kg cacing dewasa akan menghasilkan 10 kg cast dalam 2 bulan atau setara 225 kg biomass cacing setiap tahun.

Summary :
At the last 3 years raising earthworm become most popular every where since the price for fresh worm getting higher (Rp 50,000 ~ US$ 5 / kg). Even too much supply than bring the price lower to almost half. Beside, the cast produced would be another kind of output which is quite popular for using as organic fertilizer. Since cast contain such a micro organism, inorganic mineral, and organic matter much usefull for plant. Worm casts had a bacterial count of 32.0 million per g compared with 6.0 - 9.0 million per g found in surrounding soil (Teotia in Edwards and Lofty, 1977).

Worm biomass in several area were processed into powder for cake, chips, and more specific purpose as active ingredient in cosmetic industry. The substrate in worm was believed effective to cure rheumatism, kidney stone, fever and smallpox. Some local workers through their research convinced that the extract (of worm) can inhibit the development of pathogenic bacteria such as Salmonela thypimurium (typhus) and Escheria coli (diarrhea).

Behavior. Worms much depend on water supply of the media since water constitutes 85 % of their body weight. They have mechanism to maintain water balance in order to keep body surface moist and prevent excessive dehydration. Even they can tolerate for lossing 70 - 75 % of body water by migrating to a more suitable media or by aestivating. Earthworms are sensitive to light by having sensory cells with a lens
like structure of the epidermis, dermis, and prostomium (a lobe overhanging the mouth on the first segement). Media should not fascilitated with strong light since it can prevent worms for crawling over the surface (eating, burrowing, copulating).

Biology. There are 9 species of earthworm most popular for cultivation such as Lumbricus terrestris, L.rubellus, Eisenia foetida, Allolobophora caliginosa, A.chlorotica from family Lumbricidae; Pheretima asiatica, Perionyx excavatus from family Megascolecidae; Diplocordia verrucosa from family Acanthrodrilidae; Eudrilus eugeuniae from family Octochaetidae. At least four species have been commercially cultivated in Indonesia that is L.rubellus (local name Jayagiri worm, E.foetida, P.asiatica,
and E.euginea. Beside still another local species less popular (since they do not possitive repond to the cultivation), that is cacing kalung (cacing = worms), cacing koot, cacing sondari (Metaphire longa). The most popular eathworm species, L.rubellus, also known in local name as European worms, has several characteristic such as body length bet-
ween 8 - 14 cm, total segment 95 - 100, brown bright color to reddish purple on dorsal while the ventral part showed cream colored, clitelum located on segment number 27 - 32 as much as 6 - 7 segments length, male organs on segment 14 and female organs on segment 13, the movement quite slow.

Cultivation. The most important in raising the earthworms is to provide suitable media as mainly can support their normal life activity. Media can be placed in plastic bags, box made of bamboo plait or concrete brix. Boxes stack into 4 story rack which than placed in room sheltered from light. The spread density of worms much depend on the media volume, recommended to spread 250 g mature worms into 250 g media. Media consist of several organic matter (water added) mixed together and let for 4
weeks to complete the fermentation process. Mixed with animal dung (ratio 70 : 30) then add lime (1 % of organic matter) to neutralized the pH (6.0 - 7.2). Media will become suitable for earthworms as moisture content to reach 15 - 30 %, temperature 15 - 25 oC. Whenever the surface fulled with casts and cocoons, should the media change with the new one. Supplemented porridge food slightly scattered over the surface. Within 24 hours, 1 kg of mature worms can consumpt almost 1 kg of food.

If worm biomass is the main purpose, harvest can be done for every 2.5 - 3 months. Worm casts can be collected every 1 - 2 days. For every 1 kg mature worm, farmers would have to yield almost 10 kg of worm casts in 2 months or equal with 225 kg of worm biomass every year.

See Other Articles :




This Page Has Hit Since August 2001


Reference :
1. Putra. F.A, Ny Kartini Hidup Bersama Cacing. Kompas. 18 September 1999.
2. Khoeruddin, I. Banyak Yang Tergiur Menjadi Jutawan Cacing. Suara Merdeka.
26 Agustus 1999.
3. Try, H. Ny Lies Umami Kerupuk Cacing Hingga Jus Cacing. Kompas. 14
Nopember 1999.
4. C.A.Edwards dan J.R. Lofty. Biology of Earthworms. 1977.
5. Rahmat, R. Budi Daya Cacing Tanah. 1999
6. A.K. Simanjuntak dan D. Walujo. Cacing Tanah Budi Daya dan Pemanfaatannya.
1982.


Disusun oleh :

Rabu, 25 Februari 2009

Arsitektur Alam


Arsitektur merupakan salah satu kebudayaan manusia, misalnya piramida, istana, mesjid dan lain-lain yang semuanya adalah karya seni manusia. Selain bangunan yang dibuat oleh manusia dialam juga ada arsitektur yang keindahan dan keunikannya jauh lebih bagus dibandingkan buatan manusia. Misalnya satwa-satwa yang ada didunia ini masing-masing memiliki struktur tubuh yang berbeda dan prilaku satwa-satwa tersebut juga berbeda-beda yang memang dimilikinya sejak dilahirkan.

Beberapa keunikan dan keterampilan yang dimiliki oleh satwa bermacam-macam, misalnya dalam hal membuat sarang sebagai tempat tinggal mereka. Sarang yang dibuat oleh satwa terkadang hanya dianggap oleh sebagian manusia sebagai sebuah tempat yang biasa dan tidak memiliki keistimewaan. Padahal kalau kita mempelajarai prilaku satwa-satwa tersebut mulai dari membuat sarang, mencari makanan ataupun pola hidup mereka ternyata semuanya sangat indah dan mengesankan.

Berikut akan dijelaskan beberapa arsitektur alam yang unik dan istimewa :

  1. Lebah Madu

Lebah merupakan satwa yang memiliki keistimewaan dapat menghasilkan madu. Madu banyak sekali manfaatnya, baik dikonsumsi, untuk kesuburan rambut ataupun untuk kecantikan. Madu yang dihasilkan oleh lebah disimpan di kantung madu yang berbentuk heksagonal yang tersusun secara teratur. Alasan lebah memilih heksagonal sebagai bentuk tabung madu ternyata bentuk heksagonal memiliki kapasitas tampung yang lebih besar untuk menyimpang madu bila dibandingkan bentuk-bentuk lain seperti segitiga, segiempat, lingkaran ataupun bentuk-bentuk lainnya. Dalam membuat sarang lebah mengerjakannya secara bergotong-royong dan kemampuan lebah dalam membuat sarang ternyata telah diberikan saat mereka baru dilahirkan.

  1. Berang-berang.

Berang-berang hidup didalam danau. Karena kemampuan berenang berang-berang sangat baik sehingga berang-berang tidak merasa kesulitan dengan kehidupan didalam air. Berang-berang membuat sarang didalam danau. Sebelum membuat sarang terlebih dahulu mereka membuat bendungan untuk menahan laju arus air. Sarang dan juga bendungan yang dibuat berasal dari cabang-cabang dan batang pohon. Untuk mendapatkan kayu-kayu tersebut mereka bergotong-royong mencarinya dihutan. Dengan menggunakan gigi depan yang cukup tajam, berang-berang ini memotong pohon dan membawanya kedanau. Batang-batang pohon dan cabang-cabang pohon diangkut kepermukaan danau untuk dibuat sebuah bendungan. Setelah kurang lebih satu bulan akhirnya terbentuklah sebuah danau yang cukup besar sebagai tempat tinggal mereka. Bentuk bendungan yang dibuat berbentuk cekung. Ternyata disinilah letak kecerdikan satwa ini, karena bendungan yang bentuk cekung dapat menahan tekanan air dengan sangat kuat. Setelah terbentuk bendungan maka berang-berang mulai membuat sarang. Diatas permukaan danau terlihat seperti tumpukan kayu yang sebenarnya adalah sarang berang-berang tersebut. Untuk bisa masuk kedalam sarang mereka harus melewati dasar sarang yang merupakan pintu masuk. Sarang tersebut cukup kokoh karena pondasinya kuat. Didalam sarang tersebut mereka membuat dua ruangan yaitu ruang makan dan ruang tidur. Berang-berang membuat danau dengan kedalaman empat meter, hal ini bertujuan pada saat musim dingin danau akan membeku, sehingga dengan kedalaman empat meter berang-berang tetap bisa masuk kesarang mereka karena danau membeku hanya di permukaan saja.

  1. Rayap.

Rayap hidup berkoloni dan membuat sarang. Sarang rayap dapat mencapai kedalaman tiga sampai empat meter. Didalam sarang tersebut terdapat tempat untuk bercocok tanam, tempat menyimpan makanan dan tempat sirkulasi udara. Dalam membuat sarang rayap hanya menggunakan naluri dan ilham yang dimilikinya karena rayap adalah satwa yang tidak bisa melihat / buta.

  1. Burung Penganyam.

Sarang burung penganyam terbuat dari rumput-rumput kering. Burung penganyam membuat simpul pada sebuat cabang pohon dengan berbentuk lingkaran. Untuk membuat anyaman ini burung penganyam membuat tekhnik anyaman yang dimulai dari bawah keatas. Saat pembuatan simpul yang pertama harus benar, karena jika dari awal salah maka anyaman berikutnya akan salah. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah.

  1. Lebah Liar.

Lebah liar membuat sarang dari kertas yang berbentuk heksagonal yang tersusun secara teratur. Ada juga lebah liar yang membentuk sarang mereka seperti pot. Mereka membuatnya menggunakan air liur yang dicampur dengan tanah. Setelah selesai membuat sarang, lebah liar tersebut meletakkan telurnya didalam sarang kemudian menutupnya. Setelah cukup lama telurr-tekur tersebut menetas dan anak-anak lebah akan keluar dari sarangnya.

  1. Laba-laba.

Laba-laba membuat sarang mereka berbentuk jaring-jaring. Jaring-jaring ini bersifat lentur namun sangat kuat. Jaring-jaring yang dikeluarkan laba-laba berasal dari bagian belakang tubuhnya. Bila ada satwa lain yang berukuran kecil terperangkap maka mustahil bisa lepas dan dengan mudah laba-laba menangkapnya.

Insting dan kecerdasan yang dimiliki satwa-satwa tersebut bukanlah suatu kebetulan dan buka pula diturunkan dari generasi ke generasi seperti yang dikemukakan oleh Darwin pada abad ke IX dalam teori Evolusinya, melainkan pemberian Allah Swt.

Selama ini manusia hanya menganggap bahwa arsitektur yang mereka buat adalah karya manusia semata-mata, padahal semua kecerdasan dan kemampuan manusia tersebut adalah Anugerah dari Allah Swt yang patut disyukuri

Disusun Oleh :

Analisa Vegetasi

Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi atau masyarakat tumbuhan. Berbeda dengan inventaris hutan titik beratnya terletak pada komposisi jenis pohon. Dari segi floristis ekologi untuk daerah yang homogen dapat digunakan random sampling, sedangkan untuk penelitian ekologi lebih tepat digunakan sistematik sampling, bahkan purposive sampling pun juga dibolehkan.

Beberapa sifat yang terdapat pada individu tumbuhan dalam membentuk populasinya, dimana sifat – sifatnya bila di analisa akan menolong dalam menentukan struktur komunitas. Sifat – sifat individu ini dapat dibagi atas dua kelompok besar, dimana dalam analisanya akan memberikan data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisa kuantitatif meliputi : distribusi tumbuhan (frekuensi), kerapatan (density), atau banyaknya (abudance).

Dalam pengambilan contoh kuadrat, terdapat empat sifat yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan, karena hal ini akan mempengaruhi data yang diperoleh dari sample. Keempat sifat itu adalah :

  1. Ukuran petak.
  2. Bentuk petak.
  3. Jumlah petak.
  4. Cara meletakkan petak di lapangan.

Metode kuadrat

Menurut Weaver dan Clements (1938) kuadrat adalah daerah persegi dengan berbagai ukuran. Ukuran tersebut bervariasi dari 1 dm2 sampai 100 m2. Bentuk petak sampel dapat persegi, persegi panjang atau lingkaran.

Metode kuadrat juga ada beberapa jenis:

a. Liat quadrat: Spesies di luar petak sampel dicatat.

b. Count/list count quadrat: Metode ini dikerjakan dengan menghitung jumlah spesies yang ada beberapa batang dari masing-masing spesies di dalam petak. Jadi merupakan suatu daftar spesies yang ada di daerah yang diselidiki.

c. Cover quadrat (basal area kuadrat): Penutupan relatif dicatat, jadi persentase tanah yag tertutup vegetasi. Metode ini digunakan untuk memperkirakan berapa area (penutupan relatif) yang diperlukan tiap-tiap spesies dan berapa total basal dari vegetasi di suatu daerah. Total basal dari vegetasi merupakan penjumlahan basal area dari beberapa jenis tanaman.

Cara umum untuk mengetahui basal area pohon dapat dengan mengukur diameter pohon pada tinggi 1,375 meter (setinggi dada).

d. Chart quadrat: Penggambaran letak/bentuk tumbuhan disebut Pantograf. Metode ini ter-utama berguna dalam mereproduksi secara tepat tepi-tepi vegetasi dan menentukan letak tiap-tiap spesies yang vegetasinya tidak begitu rapat. Alat yang digunakan pantograf dan planimeter. Pantograf diperlengkapi dengan lengan pantograf. Planimeter merupakan alat yang dipakai dalam pantograf yaitu alat otomatis mencatat ukuran suatu luas bila batas-batasnya diikuti dengan jarumnya.

Luas Minimum Petak Sampel

Luas daerah contoh vegetasi yang akan diambil diatasnya sangat bervariasi untuk setiap bentuk vegetasi mulai dari 1 dm2 sampai 100 m2. Suatu syarat untuk daerah pengambilan contoh haruslah representatif bagi seluruh vegetasi yang dianalisis. Keadaan ini dapat dikembalikan kepada sifat umum suatu vegetasi yaitu vegetasi berupa komunitas tumbuhan yang dibentuk oleh populasi-populasi. Jadi peranan individu suatu jenis tumbuhan sangat penting. Sifat komunitas akan ditentukan oleh keadaan individu-individu tadi, dengan demikian untuk melihat suatu komunitas sama dengan memperhatikan individu-individu atau populasinya dari seluruh jenis tumbuhan yang ada secara keseluruhan. Ini berarti bahwa daerah pengambilan contoh itu representatif bila didalamnya terdapat semua atau sebagian besar dari jenis tumbuhan pembentuk komunitas tersebut.

Dengan demikian pada suatu daerah vegetasi umumnya akan terdapat suatu luas tertentu, dan daerah tadi sudah memperlihatkan kekhususan dari vegetasi secara keseluruhan. Jadi luas daerah ini disebut luas minimum.

Cara menentukan luas minimum sebagai berikut:

- Dibuat petak contoh dengan ukuran misal (0,5 x 0,5) m2 ¾¾® petak 1.

- Hitung jumlah spesies yang ada pada petak tersebut.

- Petak tadi diperluas 2 kali luas petak 1, ini ¾¾® petak ke 2.

- Dihitung jumlah spesies yang ada (penjumlahan komulatif).

- Penambahan luas petak dihentikan kalau jumlah spesies tidak bertambah lagi.

Contoh: Luas (m2) Jumlah spesies

0,5 x 0,5 9

0,5 x 1 11

1 x 1 15

2 x 1 16

2 x 2 18

4 x 2 18

Dari data tersebut dibuat kurve:

- Luas petak contoh sebagai absis (sb X)

- Jumlah spesies sebagai ordinat (sb Y)

Kemudian dihitung 10% nya luas yang dicapai dan 10% jumlah spesies. Kemudian ditarik garis resultansinya dari (dari 10% tadi). Setelah itu ditarik garis singgung pada kurve yang sejajar resultante tersebut. Kemudian dari titik singgungnya ditarik garis ke absis yang sejajar ordinat. Maka luas minimum petak (plot) dapat diketahui.

Disusun oleh :

Albert Einstein Biografy

ALBERT EINSTEIN:

The Scientist, The Philosopher,
The Moralist, The Man


Born in Ulm, Germany in 1879, Albert Einstein is still considered one of the greatest scientific and mathematical geniuses in history. In 1905, at the age of 26, he set forth his theory of relativity which discards the concept of time and space as absolute entities, and views them as relative to moving frames of reference. At the same time, he postulated light quanta or photons, comparable to energy quanta, and on these based his explanation of the photoelectric effect. In 1911, he asserted the equivalence of gravitation and inertia. In 1916, he completed the mathematical formulation of his general theory of relativity, which included gravitation as a determiner of curvature of space-time continuum and represented gravitation as a field rather than a force. In 1921, he won the Nobel Prize for his contributions to theoretical physics, especially for his work on the photoelectric effect. In 1950, he presented his unified field theory, which attempts to explain gravitation, electromagnetism, and subatomic phenomena in one set of laws. He completed it’s mathematical formulation in 1953, just two years before his death in 1955 at the age of 76.

Philosophy? Yes, Albert Einstein, the greatest scientist and mathematician of the twentieth century, studied philosophy. He felt deeply that science, mathematics and technology not only needed to be balanced with philosophy, ethics, spirituality, and the arts, but that they were merely “different branches of the same tree”. He said, "All religions, arts and sciences are directed toward ennobling man's life, lifting it from the sphere of mere physical existence and leading the individual toward freedom.” He felt it no mere chance that universities originally developed from clerical schools. “Both churches and universities - insofar as they live up to their true function - serve the ennoblement of the individual. They seek to fulfill this great task by spreading moral and cultural understanding, renouncing the use of brute force,” he explained. “Man owes his strength in the struggle for existence to the fact that he is a social living animal. As little as a battle between single ants of an ant hill is essential for survival, just so little is this the case with the individual members of a human community.” Present world leaders could benefit from this profound truth!

In THE RELIGIOUSNESS OF SCIENCE, he wrote, “The scientist is possessed by the sense of universal causation. The future, to him, is every whit as necessary and determined as the past. There is nothing divine about morality; it is a purely human affair. His religious feeling takes the form of a rapturous amazement at the harmony of natural law, which reveals an intelligence of such superiority that compared with it, all the systemic thinking and acting of human beings is an utterly insignificant reflection. This feeling is the guiding principle of his life and work, insofar as he succeeds in keeping himself from the shackles of selfish desire. It is beyond question closely akin to that which has possessed the religious geniuses of all ages.”

Einstein said the laws of science and the laws of ethics are basically one and the same. Using the example of the question “Why should we not lie?”, he explains, “Lying destroys confidence in the statements of other people. Without such confidence, social cooperation is made impossible or at least difficult. Such cooperation, however, is essential to make human life possible and tolerable. This means that the rule ‘Thou shalt not lie’ has been traced back to the demands ‘Human life shall be preserved’ and ‘Pain and sorrow shall be lessened as much as possible’.”

He felt that a school’s main goal should always be to produce individuals who are “harmonious personalities”, not specialists. “If a person masters the fundamentals of his subject and has learned to think and work independently, he will surely find his way and will be better able to adapt himself to progress and changes than the person whose training principally consists in the acquiring of detailed knowledge.” At the 1990 OATAG Conference, Dr. Smutny stated that she felt education has focused too much on technical brilliance and achievement and “separated our heads from our hearts.”

Albert Einstein was not only an extraordinary scientist and mathematician and an extraordinary philosopher, moralist, and teacher, he was an extraordinary human being! We can learn from him not only quantum physics, but how to educate our children, especially our gifted children. We need to change our school systems to help encourage the development of the “inward freedom” of independent thought. We need to allow our children the freedom and opportunity to develop “harmonious personalities” as well as “the gifts which may be latent” in them. We need to teach our children to not only tolerate differences between individuals and between groups, but to welcome their enrichment of our existence. We need to teach them that science, mathematics, technology, philosophy, ethics, spirituality, music and the arts are all merely “different branches of the same tree”, all with the same purpose of ennobling the lives of individuals and enabling society to achieve its “richest flowering.”


Disusun oleh :

Download MP3

Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

"Just For Fun with BioHunter And Primbon"